Manajemen Gerakan Mahasiswa
Term Of Reference (TOR)
1.
Evaluasi Kritis Kegagalan Gerakan
Mahasiswa
“JAS MERAH” (Jangan
Sekali-sekali pernah melupakan sejarah),
demikian Maxim (Ujar-ujar) dari Soekarno, seorang pemimpin besar revolusi
pembebasan nasional indonesia yang sangat terkenal. Maksud dari perkataan
tersebut kurang lebih bahwa “Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang
senantisa belajar dan menghargai perjalanan sejarahnya sendiri”. Baik
sejarah yang berbuah manis maupun sejarah kelam yang menorehkan luka hitam
dalam perjalannya. “Sebab kita harus berusaha menghargai sebuah kegagalan
sama halnya kita menghargai dan menghormati keberhasilan, dengan demikian kita
akan lebih mampu melihat celah dan lubang jebakan yang menghadang perjalanan
hidup kita dimasa yang akan datang”. Inilah kondisi dimana pahit manis
proses perjalanan sejarah panjang gerakan mahasiswa indonesia dalam panggung
penciptaan demokratisasi secara utuh di indoenesia demi tercapainya keadilan,
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sesejati-sesejatinya.
Proses kejatuhan Soeharto adalah
saat-saat revolusioner dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Aksi-aksi mahasiswa
dibeberapa kota sampai bisa menguasai Instansi-instansi pemerintah. Dengan
tuntutan reformasi berupa Pergantian
Presiden, Pengadilan Soeharto dan Pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Bahkan
pada tanggal 19-21 Mei 1998, ribuan mahasiswa di Jakarta sudah menguasai Gedung
DPR/MPR menuntut agar Soeharto mundur. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan
beratus-ratus komite mahasiswa yang tersebar di berbagai kota. Komite-komite
ini-lah yang mampu menggerakan ribuan mahasiswa untuk terlibat dalam aksi-aksi
menuntut perubahan.
Namun setelah berhasil
menggulingkan Soeharto, secara kualitas dan kuantitas gerakan mahasiswa
mengalami penurunan. Gerakan mahasiswa kembali bangkit mendekati momentum
Sidang Istimewa MPR, pada pertengahan bulan Nopember. Tepatnya pada tanggal
13-14 Nopember 1998. Aksi-aksi besar-besaran terjadi di Jakarta, sekitar satu
juta mahasiswa berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta.
Kemudian, melakukan rally ke gedung DPR/MPR, sampai kemudian meletuslah insiden
Semanggi yang mampu menyeret solidaritas mahasiswa di berbagai kota. Kemudian
sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 hingga sekarang, praktis gerakan mahasiswa
mati. Bahkan 2 kali momentum pemilu dilewatkan dengan manis oleh gerakan
mahasiswa. Momentum Impeachment Parlemen terhadap Gus Dur tahun 2001
yang mneyebabkan terjadinya pergantian kepemimpinan nasional ketangan Megawati,
kembali menjadi awal konsolidasi gerakan bagi kekuatan mahasiswa. Namun hanya
berlangsung sesaat tanpa bisa melakukan move-move yang lebih terarah dan sistematis.
Aksi besar kembali muncul ketika menjelang momentum Pemilihan Umum 2004, dimana
gerakan mahasiswa melakukan gebrakan intervensi terhadap calon-calon legislatif
dengan melempar jargon “Tolak Politisi Busuk” dan mencapai puncaknya
pada saat Pemilihan Presiden dan Wakilnya dengan meluasnya isue “Anti
Militerisme” pada saat bulan Mei 2004 yang lebih dikenal dengan peristiwa Memar
(Mei Makassar Berdarah). namun sekali lagi, bahwa gerakan yang
terbangun tidak mampu mengurai benang kusut kegagalan-kegagalan gerakan
mahasiswa selama ini dalam meraba-raba bentuk, metodelogi dan srategi-taktik
dalam mengelola aktivitas gerakan secara Continue, terarah dan terpimpin.
Pasang surut gerakan mahasiswa, yang termanifestasi dalam aksi-aksinya,
terlihat sekali bahwa hampir setiap organisasi perlawanan mahasiswa di berbagai
kota, selama ini sangat bergantung pada momentum politik yang ada. Setiap ada
momentum biasanya gerakan akan membesar, namun ketika tidak ada momentum maka
gerakan akan kembali mengecil. Momentum memang sangat membantu dalam
memobilisir perlawanan mahasiswa. Namun ketergantungan terhadap momentum yang
ada hanya akan membuat gerakan menjadi statis dan mandeg. Hal ini tentu akan
menghambat tercapainya perjuangan dalam gerakan mahasiswa. Kemandegan ini disebabkan
adalah kesalahan cara pandang gerakan dalam menempatkan prioritas kerja
organisasi.
Dan yang paling Up to Date
adalah momentum kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yang lalu. Dimana sekali
lagi gerakan mahasiswa menampakkan bahwa seakan-akan ingin memposisikan diri
sebagai suatu komunitas yang tidak ingin ketinggalan sejarah dari respon
terhadap momentum tersebut. Ibaratkan seorang tokoh oportunis yang selalu ingin
tampil memukau dan meyakinkan ketika terjadi ledakan perlawanan yang dijadikan
peristiwa untuk membangun identitas kepahlawanan dirinya yang sok heroik di
atas jerih payah orang lain. Bukankah ini logika dan pemikiran yang picik? Kita
akan membahasnya sebagai sebuah bentuk kesalahan gerakan.
Berikut adalah evaluasi Letak
Kelemahan-Kelemahan Gerakan Mahasiswa yang selama ini menjadi
benalu dalam mencapai tujuan dan cita-cita perjuangan dalam kerangka pembebasan
rakyat tertindas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemandulan gerakan
mahasiswa selama ini, antara lain :
Elitisme
Gerakan
Elitisme gerakan merupakan
suatu bangunan bentuk penafsiran arah gerakan yang salah. Kenapa? Karena sikap
elitisme tersebut hanya akan menempatkan posisi gerakan dalam jebakan-jebakan
kepentingan (Interest) politik elit dan kaum mapan ynag notabene tidak berkaitan
langsung dengan kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan pokok massa rakyat
Indonesia. Sikap elitisme ini cenderung manipulatif (Mengingkari fakta dan
kenyataan) dan memoderasi (Mengurangi makna kepoloporan sejati dan keberpihakan
mahasiswa terhadap massa rakyat) gerakan mahasiswa yang secara tidak langsung
membawa gerakan mahasiswa ke dalam barisan elit yang sok mapan, sok berkuasa
dan tidak pernah perduli dengan nasib rakyatnya karena hanya terfokus dengan
kepentingan sendiri. Maka kenyataan dilapangan sering kita temukan bahwa
kebanyakan organisasi-organisasi mahasiswa lebih memilih isue-isue titipan elit
politik (Baik nasional maupun daerah) ketimbang konsisten mengawak isue-isue
problem pokok rakyat yang lebih real dan mengandung akibat-akibat langsung
terhadap propaganda himbauan dan ajakan kepada rakyat untuk menyadari dan
mengorganisir dirinya untuk melakukan pertanyaan, tanggapan, usulan, protes,
penolakan sampai kepada tahap perlawanan yang lebih radikal.
Kecenderungan
Eksklusif Terhadap Realitas Sosial
Tertutup (Eksklusif) dan
cenderung membuat Gap-Gap atau kelompok diantara sesama komunitas mahasiswa
sendiri yang terpisah dari massa rakyat, adalah cap yang acap kali terlontar
dari mulut masyarakat. Bagaimana tidak! Hal tersebut tumbuh dan berkembang
karena disebabkan oleh kalangan mahasiswa sendiri yang secara sengaja membangun
sebuah paradigma “Megalomania” yang mengatakan bahwa kalangan yang
paling bisa dan paling mampu memecahkan problem bangsa adalah mahasiswa karena
mahasiswa makhluk terdidik. Atau mungkin jargon Agen of Change, Social
Controle, Balance Of Power dll yang salah tafsir dan terlalu berlebihan
memahaminya sehingga otomatis telah membuat dan membentuk pemikiran bahwa
seakan-akan hanya dan Cuma mahasiswa yang mampu melakukan perubahan.
Sekat-sekatpun antara mahasiswa dan massa rakyatpun muncul sehingga menjadikan
mahasiswa membentuk menara gading yang jauh dari realitasnya sendiri bersama
massa rakyat. Kenyataan ini juga membuat lembaga-lembaga kemahasiswaan menjadi
lembaga tanpa gerak dan tidak fleksibel merangkul kekuatan massa (Standing
Institution).
Watak
Sektarianisme
Gejala ini sudah lama menjadi
kendala besar dalam konteks bagaimana menyatukan seluruh potensi gerakan
mahasiswa, dimana kelompok-kelompok dan organisasi mahasiswa masih
terkotak-kotakkan ke dalam warna bendera, institusi dan almamater masing-masing
dan akibat dari semua itu tentu Polarisasi gerakan yang tak henti-hentinya
hingga saat ini. Bagi Pejuang Revolusioner Cuba - Che Guevara, ini
adalah sikap kekanak-kanakan dan ketidak dewasaan dalam gerakan yang harus
dikikis habis oleh mahasiswa. Bukan saatnya lagi gerakan mahasiswa berdebat
masalah latar belakang ideologi, warna bendera dan kebanggaan almamater
masing-masing karena hal tersebut hanya akan membawa gerakan yang semakin tidak
terkonsolidasi yang secara politik akan semakin melemahkan posisi tawar
(Bargaining Position) Mahasiswa dimata Rezim.
Kegagalan
Menganalisa Kontradiksi Masyarakat Secara Komprehensif
Selama ini, gerakan mahasiswa hanya
mampu melihat kontradiksi atau persoalan-persoalan massa rakyat pada
kulit-kulitnya saja secara empirik dan cenderung memudahkan persoalan tanpa
pernah berusaha mengurai dan menguliti sistem di balik penindasan massa rakyat
selama bertahun-tahun yang disebabkan oleh sistem yang buas,licin dan serakah
yakni sistem Kapitalisme.
Terjebak
Dalam Momentum (Spontanitas)
Alasan yang terakhir dan paling mencolok dari rangkaiaan
evaluasi kegagalan gerakan mahasiswa adalah kebiasaan membebek dan membonceng
terhadap momentum yang ada tanpa berusaha menciptakan momentum perlawanan
sendiri. Akibatnya, perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswapun terjebak dalam
pemujaan “Spontanitas” perjuangan yang sifatnya tidak pernah bertahan
lama dan secara prinsip tidak mengarah kepada perlawanan yang terorganisir dan
tidak terpimpin secara politis. Coba tengok, berapa kali sudah momentum
berusaha diinterupsi oleh gerakan mahasiswa dan berapa kali pula gerakan
tersebut gagal sebab momentum itu hanya berskala kecil dan bertempo jangka
pendek sehingga intensitas dan konsistensi massa tak mampu dijaga.
2.
Reposisi Peran dan Fungsi Gerakan
Mahasiswa Dalam Konteks Aktivitas Gerakan Sosial
Dari pemaparan serta eksplorasi
ulasan perjalanan sejarah serta kupasan letak kelemahan-kelemahan gerakan
mahasiswa Indonesia selama ini, maka diperlukan suatu pelurusan fungsi gerakan
mahasiswa dalam konteks mengembalikan peran dan posisi mahasiswa sebagai
kekuatan pelopor (Vanguard) dalam memajukan kesadaran serta
kemampuan politik massa rakyat Indonesia dalam berjuang merebut kedaulatan
sejatinya.
Darimana
Kita Harus Memulai?
Menurutku, pertanyaan darimana kita
harus memulai, adalah pertanyaan yang paling penting, Sebab hal tersebut
menandakan adanya keterbukaan dan kerendahan hati kita untuk melihat dan
mengkritik gerakan kita sendiri yang sedikit banyaknya telah mengalami
kegagalan-kegagalan. Sebuah oraganisasi yang besar, adalah organisasi
yang siap menerima kritikan-kritikan sebagi sebuah masukan dalam melihat celah
dan kelemahan kita, sehingga
benang kusut dan lubang tajam kelemahan itu mampu kita pecahkan dan tutupi
dengan dialektika rumusan-rumusan srtategi-taktik baru yang tentunya akan lebih
tajam bak belati dalam mencapai tujuan-tujuan serta cita-cita gerakan mahasiswa
untuk membangun massa rakyat yang secara penuh berdaulat dan merdeka. Inilah
hal yang paling mendasar yang harus kita laukukan sebagai tahap awal dalam
melakukan reposisi atau memposisikan ulang gerakan mahasiswa yang tadinya
tumpul menjadi tajam, yang sebelumnya tercerai berai menjadi bersatu dan yang
dulunya elitis dan eksklusif menjadi sebuah gerakan yang terbuka luas
(Inklusif) terhadap organisasi manapun, siapapun, apapun dan darimanapun selama
masih mempunyai tujuan, prinsip dan kehendak yang sama untuk membebaskan massa
rakyat dari belenggu penindasan.
Menentukan
Dan Menetapkan Garis Besar Agenda Perjuangan
Setelah melakukan serangkaian
evaluasi tentang gerakan, maka hal yang paling urgen berikutnya adalah
menentukan agenda-agenda atau jadwal (Schedule) akan apa dan cara apa
yang hendak kita lakukan selama beberapa waktu kedepan sebagai bagian dari
langkah-langkah penyusunan strategi-taktik gerakan mahasiswa. Hal tersebut
memungkinkan gerakan yang kita bangun akan lebih terarah, terencana dan
sistematis sehingga titik kelemahan serta kekurangan lebih bisa terdeteksi
selagi gerakan kita berproses. Kadang-kadang rekomendasi akan plaining terhadap
agenda gerakan sudah tersusun, namun tidak dikerjakan sama sekali, maka hal
yang menjadi kebutuhan untuk mengantisipasinya adalah ketegasan, komitmen serta
kedisiplinan anggota organisasi yang harus dibentuk dan dididik melalui
kebiasaan kerja-kerja organisasi secara real serta intensitas evaluasi secara
rutin dan Continue.
Mengarahkan
Seluruh Potensi Gerakan Kepada Pembasisan Dan Pengorganisasian Sektor Rakyat
Tertindas.
Dari pemaparan
sebelumnya tentang gerakan kemahasiswaan, bahwa salah satu bentuk kelemahan
gerakan mahasiswa adalah kecenderungan sikap Eksklusif gerakan yang tidak mau
menyatu dengan sektor rakyat. Pada dasarnya kekuatan mahasiswa adalah kekuatan
pelopor sejati sebagai pendobrak ketidakadilan, namun harus diingat bahwa
kekuatan sesungguhnya untuk memukul jatuh ketidakadilan tersebut terletak di
pundak dan tangan rakyat sendiri. Maka dari itu, adalah keharusan bagi kalangan
mahasiswa untuk rela melepaskan jargon
serta simbol kemahasiswaannya untuk terjun dan mengabdikan seluruh hidupnya
bersama rakyat (Buruh, Tani, Nelayan, Kaum Miskin Kota dll) untuk
mendidik dan menempa kemampuan berlawan serta memajukan kesadaran politik
rakyat. Inilah peran sesungguhnya dari mahasiswa untuk membangun wadah
organisasi-organisasi rakyat dan menciptakan perlawanan dimana-mana demi
capaian-capaian kehidupan rakyat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah
panji-panji demokrasi dan kedaulatannya sendiri.
3.
Bagaimana Menata Organisasi Yang Kuat,
Solid Dan Disiplin?
Di dalam melakukan serangkaian
aktivitas organisasi dalam gerakan, tentunya kita mempunyai prinsip-prinsip
organisasi yang bertujuan memajukan dan mingkatkan kualitas serta performance
organisasi dalam membentuk dan mendidik kader atau anggotanya agar mempunyai
kedisiplinan serta keuletan kerja yang sungguh-sungguh agar mampu menjadikan
organisasi berdiri tegar, kokoh, kuat dan terpimpin.
Prinsip-prinsip yang harus kita
terapkan dan praktekkan dalam mengelola
organisasi antara lain adalah :
Bergaris
Massa
Garis massa adalah
prinsip revalusioner yang mengajar kita tegak berdiri dan percaya pada massa
untuk pembebasannya.
“Prinsip ini didasarkan pada kenyataan bahwa massa dan hanya massa yang
dapat membuat sejarah”. Dalam hal ini, keyakinan bahwa hanya
dengan
Gerakan Massa (Popular Struggle),
perubahan dan revolusi mampu diejawantahkan. Jelas saja,
coba lihat dan pelajari bahwa Sepanjang sejarah perubahan-perubahan di belahan
dunia manapun, metode yang paling ampuh dan efektif hanyalah dengan gerakan
massa. Dimulai dari kemenangan Napoleon di Revolusi Borjuis Prancis 1879,
Kemenangan Lenin pada Revolusi Sosialis Rusia 1917, Revolusi Cuba dibawah
pimpinan Castro dan Che Guevara 1957, Revolusi Islam Iran 1979 sampai pada
Revolusi Pembebasan Nasional Indonesia tahun 1945, semuanya dengan memakai
metode gerakan massa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatannya
masing-masing. Maka dari itu, tugas dan peran mahasiswa untuk menanamkan
keyakinan tersebut secara penuh minimal dalam lingkungan organisasi sendiri
bahwa pertempuran yang sesungguhnya bukanlah di gedung-gedung dewan, di
bangku-bangku kuliah maupun di meja-meja kantor. Namun pertempuran
seseungguhnya adalah di jalan-jalan raya melawan ketidakadilan yang diciptakan
oleh sebuah sistem melalui kaki tangannya (Pemerintah, pejabat, birokrasi,
tentara dll)demi Pembebasan rakyat tertindas. Sejalan dengan hal tersebut, maka
prasyarat pertama dari sebuah organisasi adalah prinsip garis massa yang
berarti membangun dan memperluas struktur perlawanan organisasi secara
kuantitas yang tentunya akan semakin menambah daya dobrak dan kualitas dari
organisasi. Satu hal yang mesti kita tegaskan, bahwa Power Sharing Keuasaan
tidak akan pernah terjadi ketika posisi tawar (Bargaining position) dalam hal
kekuatan massa kita sempit dan kecil, maka pengorganisiran dan pembasisan
adalah mutlak bagi kita.
Kepemimpinan
Dan Kepeloporan
Prinsip kepemimpinan dan
kepeloporan adalah premis umum yang menjadi keharusan dikalangan mahasiswa.
Kenapa? Karena hanya mahasiswa yang mempunyai kesempatan dan waktu luang untuk
mempelajari dan menganalisa segala problem-problem massa rakyat dan negara
dibanding sektor rakyat lainnya (Buruh yang terlalu disibukkan padatnya jam
kerja, petani yang terkuras tenaganya mengurusi sawahnya,nelayan yang nampak
tertelan waktu air ombak dan laut maupun kaum miskin kota yang selalu merasa
rendah dan ogah untuk mendalami ilmu pengetahuan), maka “Sepatutnyalah
mahasiswa menjadi corong utama yang berada paling depan untuk menyuarakan
setiap tindakan ketidakadilan dan kebatilan yang terjadi”, dengan
demikian maka akan menimbulkan efek domino yang secara psikologis akan
memberikan keyakinan-keyakinan kepada massa bahwa telah ada yang memulai dan
kitapun harus turut serta untuk bertindak seperti layaknya mereka yang telah
memulainya.
Kolektifisme
Adalah sebuah prinsip kebersamaan
yang menjadi sarana mempererat dan mempertajam hubungan emosional dan rasa
empati serta tenggang rasa antar sesama kader atau anggota-anggota organisasi.
Kebersamaan adalah kunci dari segala-galanya, karena dengan kebersamaan dan
sikap mengutamakan kepentingan bersama di atas segalanya tersebut maka sebuah
organisasi akan lebih solid, kuat dan tak gampang dipatahkan. Slogan dan jargon
Sama Rasa, Sama Rata atau Satu Disakiti, Semua Dilukai terasa
menjadi pandangan spiritual yang sangat menggugah hati dan pikiran untuk
menempatkan kebersamaan dan kolektivisme di atas segalanya.
Kritik-Self
Kritik
Dalam mengelola sebuah organisasi,
maka salah satu faktor menentukan dalam mengukur keunggulan dan kemampuan,
kelemahan, ancaman serta peluang adalah dengan metode Kritik-Self kritik dalam
ranah bagaimana menentukan sebuah keputusan-keputusan secara objektif dan
menghindari subjektifitas dalam rangkaian kerja organisasi. Bergerak bukan
hanya sekedar bergerak, namun mestilah disejajarkan dengan realitas ukuran
target sejauh mana capaian yang telah kita lakukan dan langkah apa yang harus
kita lakukan berikutnya. Kririk-Self Kritik bukanlah ajang penghakiman terhadap
pribadi kader maupun organisasi, namun merupakan sebuah ajang mencari solusi
yang lebih matang dan lebih maju dari solusi sebelumnya agar yang terjadi adlah
sebuah progres dan bukanlah regres.
Sentralisme
Demokrasi
Sentralisme Demokrasi adalah
prinsip pembimbing penuntun kita dalam menjalankan organisasi. Prinsip ini
menjamin bahwa kita akan bergerak sebagai kesatuan yang terorganisir.
Sentralisme demokrasi berarti sentralisme yang didasarkan pada demokrasi dan
demokrasi dibawah kepemimpinan tersentralisir. Sentralisme berdasarkan pada
demokrasi berarti memperhitungkan segala sesuatu berdasarkan keseluruhan
kepentingan dan kondisi organisasi. Gerakan yang baik dari organisasi berasal
dari partisipasi aktif seluruh anggota dan mengambil bagian didalamnya.
Keputusan-keputusan yang dijalankan dalam organisasi secara bersama diputuskan
atas dan didasarkan kepada kepentingan umum. Kepatuhan terhadap prinsip
sentralisme demokrasi meletakkan kondisi yang baik bagi gerakan tiap anggota
dan organisasi secara baik dan hidup. Dengan cara demikian kita membuat
keputusan‑keputusan, rencana‑rencana dan program yang benar dalam pergerakan
kita, dan secara efektif menuntaskannya. Mempraktekan sentralisme demokrasi
adalah satu cara untuk. menjamin keberhasilan kita.
Kedisplinan
Dan Kesatuan Tindakan
Satu hal yang pasti,
bahwa gerakan mahasiswa hari ini terlalu dimanjakan oleh keadaan. Terbuka
secercah ruang demokrasi liberal mengakibatkan gerakan mahasiswa ikut terbuai
dalam kompromi dan tawaran-tawaran politik kaum mapan yang cenderung memberikan
konsesi yang seakan-akan menghilangkan watak kejam sistem kapitalisme dan
tentunya dikemas sedikit lebih manusiawi. Hal tersebut ikut mempengaruhi dalam
watak dan budaya mahasiswa yang cenderung malas, manja, tidak tepat waktu, sok
intelektual, heroisme dan kecenderungan hanya ingin memerintah. Hal tersebut
tentunya berakibat fatal dalam organisasi, tumpang tindih dan ketidak selarasan
kerja adalah ujung dari segalanya yang semakin membuat posisi organisasi
menjadi lemah dan keropos. Problem ini harus dipecahnya dengan membangun
kedisiplinan kader yang tangguh, militan dan tak kenal lelah dalam bekerja
serta menanamkan kebiasaan serta kesatuan dalam bertindak di bawah panji-panji
organisasi.
4.
Meretas Jalan Baru Gerakan Mahasiswa ;
Dari Teori menuju Aksi
Sekarang mari kita coba lebih
realistis dengan berusaha menempatkan posisi kita sebagai mahasiswa dalam
konteks problem pokok massa rakyat Indonesia hari ini. Kenaikan BBM baru-baru
ini merupakan cambukan terbesar rakyat yang berarti satu hal, “Menyeret
dan Membunuh rakyat Indonesia secara pelan-pelan”. Ketika dalam kondisi
seperti ini, maka “Tidak ada pilihan lain bagi kita kaum mahasiswa untuk
mengarahkan seluruh potensi gerakan kita untuk mengambil posisi bersama-sama
rakyat baik buruh, tani, nelayan, kaum miskin perkotaan dan lainnya untuk
membuat benteng-benteng perlawanan melalui wadah-wadah persatuan bersama
(Front, Aliansi, Block, Persatuan dll) yang bersifat multi sektoral antar
sesama rakyat tertindas seluruhnya guna menggempur dan menjatuhkan sistem yang
penindas dan licik serta merobohkan setiap rezim yang anti terhadap rakyat
miskin”. Sudah saatnya kita meninggalkan alam refleksi dan menghentikan
komtemplasi untuk mengambil sikap tegas mengejawantahkan pemikiran-pemikiran
dan teori kita dalam bentuk praktek yang lebih nyata. Memang benar bahwa “Tidak
akan ada Perubahan tanpa teori-teori perubahan”, namun sebaliknya bahwa
“Teori dan Pemahaman kita akan menjadi sesuatu yang tidak berguna ketika
berdiam diri dalam kubangan ide tanpa pernah berusaha dipraktekkan”.
Ingat, bahwa Penindasan bukan
hanya untuk ditangisi, kemiskinan bukan hanya untuk diratapi. Maka Berlawanlah
dan berlawanlah!!! Berjuanglah demi zaman, bertempurlah demi sejarah, demi
demokrasi dan kedaulatan rakyat sejati. Sudah saatnya gerakan mahasiswa meretas
jalan baru yang bersifat lebih terbuka, pro-rakyat, egaliter, memandang
perbedaan ideologi dan warna bendera sebagai sesuatu yang lumrah, tidak elitis
dan tentunya akan senantiasa mengabdikan gerakannya untuk kepentingan rakyat
Indonesia.
Bangun Demokrasi untuk Kedaulatan Rakyat Sejati !!!
Penulis: Herdiannyah Hamzah/Castro
(Staf Tenaga Pengajar dan peneliti pada Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Salah satu deklarator Front Mahasiswa Demokratik).
Post a Comment